Akhirnya rancangan Sultan Hamid II berhasil menyingkirkan rancangan milik Muhammad Yamin. Dalam buku Bung Hatta Menjawab, Bung Hatta mengatakan usulan dari Muhammad Yamin ditolak karena terdapat sinar-sinar matahari dan menampakkan sedikit banyak disengaja atau tidak memiliki pengaruh Jepang.
Panitia tersebut bertugas untuk menyelidiki arti lambang-lambang dalam peradaban bangsa Indonesia. Hal tersebut dilakukan sebagai langkah awal untuk kajian tentang lambang negara. Lihat juga:Menhan Minta HTI Keluar dari Indonesia Pada 30 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat menjadi menteri negara tanpa portofolio melalui keputusan presiden (Keppres) Republik Indonesia Serikat Nomor 2. Pengangkatan Sultan Hamid II tersebut dilakukan untuk melakukan perancangan lambang negara dan menyiapkan gedung parlemen RIS. Dalam sidang kabinet RIS kedua pada 10 Januari 1950, dibentuk Panitia Lambang Negara yang diketuai oleh Muhammad Yamin. Kemudian diadakan sayembara rancangan lambang negara yang dilakukan oleh pemerintah di bawah kementerian penerangan. Dalam sayembara perancangan lambang negara tersebut, Menteri Penerangan mengumumkan ada dua kandidat rancangan lambang negara. Yaitu rancangan Sultan Hamid II dan Muhammad Yamin. Akhirnya rancangan Sultan Hamid II berhasil menyingkirkan rancangan milik Muhammad Yamin.
Dalam buku Bung Hatta Menjawab, Bung Hatta mengatakan usulan dari Muhammad Yamin ditolak karena terdapat sinar-sinar matahari dan menampakkan sedikit banyak disengaja atau tidak memiliki pengaruh Jepang. Soekarno, Jambul Garuda dan Empu TantularPenetapan lambang Garuda Pancasila memiliki proses yang cukup lama. (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A. "Dari panitia lambang saat itu, ada dua orang yang terpilih, sebetulnya ada banyak, terpilih Muhammad Yamin dan Sultan Hamid II. Yamin kalah karena ada warna-warni Jepangnya. Rancangan awal yang dibuat oleh Sultan Hamid II adalah rancangan dengan bentuk dasar burung garuda yang memegang Perisai Pancasila. Dalam tulisan Turiman yang berjudul Menelusuri Jejak Lambang Negara dijelaskan bahwa ide perisai Pancasila itu muncul saat Sultan Hamid II sedang merancang lambang negara dan teringat dengan ucapan Soekarno.
Pandangan yang dimaksud adalah hendaknya lambang negara bisa melambangkan pandangan bangsa dan dasar negara Indonesia. Rancangan tersebut, kemudian disempurnakan dengan mendapatkan saran dari Ki Hajar Dewantara yang memberi masukan berupa gambar-gamabr sketsa garuda yang ada di berbagai candi di Jawa. Sultan Hamid II kemudian membandingkannya dengan gambar garuda yang berasal dari luar Jawa, yang terdapat di berbagai simbol kerajaan. Perbandingan tersebut menjadi dasar untuk membuat sketsa lambang negara RIS 1950 tahap pertama. Dalam rapat Panitia Lambang Negara yang berlangsung pada 8 februari 1950, sketsa lambang negara dari Sultan Hamid II masih mendapatkan beberapa revisi dari para angoota sehingga perlu dilakukan perbaikan kembali. Sultan Hamid II menyerahkan hasil revisi terakhir rancangannya kepada Soekarno pada 10 Februari 1950. Kemudian pada 11 Februari 1950, lambang Garuda diresmikan sebagai lambang negara
Memberikan Jambul
Soekarno pertama kali memperkenalkan lambang negara kepada publik pada 15 Februari 1950 di Hotel Des Indes, Jakarta. Kemudian pada 20 februari 1950, lambang negara tersebut sudah terpasang di ruang sidang kabinet RIS yang berlangsung di Pejambon. "Garuda Pancasila yang kini tegar sebagai lambang negara adalah penyempurnaan dari gagasan desain Sultan Hamid ll,” tutur Rushdy. “Setelah mengalami revisi di sana-sini maka Garuda Pancasila yang kita sekarang diresmikan pada 11 Februari 1950 sebagai lambang negara.” Saat itu, lambang negara yang diperkenalkan adalah lambang Garuda yang masih berkepala gundul tersebut menjadi berjambul. Sultan Hamid II kemudian menyempurnakan lambang negara tersebut sesuai dengan saran Soekarno. Awal Maret, Soekarno kembali memberikan saran agar cengkeram pita yang mulanya di belakang agar dibalik. 20 Maret 1950, gambar Garuda Pancasila dengan arah cengkeram menghadap ke depan mendapat persetujuan dari Soekarno. Kemudian, Soekarno memerintah Dullah, si pelukis Istana, untuk melukis kembali gambar tersebut. Sultan Hamid kemudian kembali mendapat perintah dari Soekarno untuk menambah skala ukuran dan tata warna pada gambar lambang negara tersebut. Yang kemudian memerintahkan pelukis istana, Dullah, untuk melukis kembali rancangan tersebut sesuai bentuk final rancangan Menteri Negara RIS Sultan Hamid II yang dipergunakan secara resmi sampai saat ini. Untuk terakhir kalinya, Sultan Hamid II menyelesaikan penyempurnaan bentuk final gambar lambang negara, yaitu dengan menambah skala ukuran dan tata warna gambar lambang negara di mana lukisan otentiknya diserahkan kepada H Masagung, Yayasan Idayu Jakarta pada 18 Juli 1974. Sedangkan Lambang Negara yang ada disposisi Presiden Soekarno dan foto gambar lambang negara yang diserahkan ke Presiden Soekarno pada awal Februari 1950 masih tetap disimpan oleh Kraton Kadriyah Pontianak. Hamid II diberhentikan pada 5 April 1950 karena diduga bersengkokol dengan Westerling dan APRA- nya. Sultan Hamid II wafat pada 30 Maret 1978 di Jakarta dan dimakamkan di pemakaman Keluarga Kesultanan Pontianak di Batulayang.
BPUPKI Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (bahasa Jepang: 独立準備調査会 Hepburn: Dokuritsu Junbi Chōsa-kai, Nihon-shiki: Dokuritu Zyunbi Tyoosa-kai), lebih dikenal sebagai Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (disingkat BPUPKI) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang. Pemerintahan militer Jepang yang diwakili komando AD Ke-16 dan Ke-25 menyetujui pembentukan Badan Penyelidikan Upaya Persiapan Kemerdekaan Indonesia. pada 1 Maret 1945. Karena kedua komando ini berwenang atas daerah Jawa (termasuk Madura) dan Sumatra. BPUPKI hanya dibentuk untuk kedua wilayah tersebut, sedangkan di wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur yang dikuasai komando AL Jepang tidak dibentuk badan serupa
Pendirian badan ini sudah diumumkan oleh Kumakichi Harada pada tanggal 1 Maret 1945,[2] tetapi badan ini baru benar-benar diresmikan pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. BPUPKI beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso.
Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia-Belanda[3], terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatra, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.
Panitia Sembilan adalah kelompok yang dibentuk pada tanggal 1 Juni 1945, diambil dari suatu Panitia Kecil ketika sidang pertama BPUPKI. Panitia Sembilan dibentuk setelah Ir. Soekarno memberikan rumusan Pancasila. Adapun anggotanya adalah sebagai berikut:
1. Ir. Soekarno (ketua)
2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)
3. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)
4. Abikoesno Tjokrosoejoso (anggota)
5. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)
6. H. Agus Salim (anggota)
7. Mr. Achmad Soebardjo (anggota)
8. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)
9. Mr. Mohammad Yamin (anggota)
Sejarah Hari Lahirnya Pancasila
- 1 Juni ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Lahirnya Pancasila adalah judul pidato yang disampaikan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945. Bagaimana sejarahnya? Dokuritsu Junbi Cosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) mengadakan sidangnya yang pertama dari 29 Mei dan selesai tanggal 1 Juni 1945. Rapat dibuka pada tanggal 28 Mei 1945 dan pembahasan dimulai keesokan harinya 29 Mei 1945 dengan tema dasar negara. Rapat pertama diadakan di gedung Chuo Sangi In di Jalan Pejambon 6 Jakarta yang kini dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila. Pada zaman Belanda, gedung tersebut merupakan gedung Volksraad atau Perwakilan Rakyat. Setelah beberapa hari tidak mendapat titik terang, pada 1 Juni 1945, Soekarno mendapat giliran untuk menyampaikan gagasannya tentang dasar negara Indonesia merdeka, yang dinamakan Pancasila. Pidato yang tidak dipersiapkan secara tertulis terlebih dahulu itu diterima secara aklamasi oleh segenap anggota BPUPKI.
Selanjutnya BPUPKI membentuk panitia kecil untuk merumuskan dan menyusun Undang-Undang Dasar dengan berpedoman pada pidato Bung Karno tersebut. Lalu dibentuklah Panitia Sembilan terdiri dari Soekarno, Mohammad Hatta, Mr. AA Maramis, Abikoesno Tjokrosoejoso, Abdul Kahar Muzakir, Agus Salim, Achmad Soebardjo, Wahid Hasjim, dan Mohammad Yamin yang ditugaskan untuk merumuskan kembali Pancasila sebagai Dasar Negara berdasar pidato yang diucapkan Soekarno pada 1 Juni 1945 dan menjadikan dokumen tersebut sebagai teks untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Setelah melalui proses persidangan dan lobi-lobi akhirnya rumusan Pancasila hasil penggalian Soekarno tersebut berhasil dirumuskan untuk dicantumkan dalam Mukadimah Undang-Undang Dasar 1945. Kemudian disahkan dan dinyatakan sah sebagai dasar negara Indonesia merdeka pada 18 Agustus 1945 oleh BPUPKI. Dalam kata pengantar atas dibukukannya pidato tersebut, yang untuk pertama kali terbit pada tahun 1947, mantan Ketua BPUPKI Dr Radjiman Wedyodiningrat menyebut pidato Soekarno itu berisi Lahirnya Pancasila.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar